TAHAPAN TURUNNYA AL-QUR’AN
DAN ASBABUN NUZUL
Mata Kuliah : Al-Qur’an
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil ‘alamiin kami panjatkan kepada Allah SWT. karena berkat
rahmat dan ridhoNya kami dapat berjihad di jalanNya dan menikmati kebesaranNya
dengan menjalankan semua aktivitas dan rutinitas. Rasa syukurlah yang wajib
kita sanjungkan atas segala sesuatu yang masih dianugrahkan kepada kita, serta
harapan dan doa semoga makalah kami yang berjudul ”TAHAPAN TURUNNYA AL-QUR’AN DAN ASBABUN NUZUL” yang telah kami susun
secara maksimal dapat menjadi pembelajaran dan amal untuk bekal dikemudian
hari.
Tidak lupa sholawat dan salam kami sanjungkan kepada sang permata
dunia, pemimpin seluruh umat, beliaulah Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga dan
para sahabatnya. Karena
beliaulah Sang Pembawa Risalah terbesar umat islam, kalamulloh, Al-Qur’anul
Karim yang dijadikan pedoman kehidupan kaum muslim. Suatu risalah yang
diturunkan oleh Allah SWT. secara bertahap dan memiliki asbabun nuzul yang
berbeda dari setiap ayat yang diturunkan tersebut.
Dalam penyusunan makalah ini sebagai bentuk kesadaran kami dalam
memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’an, kami merasa telah banyak menerima bantuan
dari berbagai pihak baik moral maupun spiritual. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Bapak ,,,,,,. selaku dosen pembimbing mata kuliah Al-Qur’an.
2. Teman-teman
kelas C prodi Pendidikan Bahasa Arab serta pihak-pihak lain yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
secara substansi maupun metodologinya, karena itu kritik dan saran yang
membangun, sangat kami harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Akhirnya
kami berharap apa yang tertuang dalam makalah “Tahapan Turunnya Al-Qur’an dan
Asbabun Nuzul” ini dapat memberi manfaat bagi kami khususnya dan pembaca umumnya.
Yogyakarta, 24
September 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………….……………. i
Kata Pengantar
………………...…………………………………………....………. ii
Daftar Isi
……………….……………………………………………………...……. iii
BAB I.
Pendahuluan
I.I Latar
Belakang………………………………………………………………….. 1
I.II Rumusan
Masalah………………………………………………………………. 1
I.III
Tujuan ………………………………………………………………….……….. 2
I.IV
Manfaat…………………………………………………………………………. 2
BAB II. Pembahasan.................................................................................................. 3
BAB III. Penutup
III.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….10
III.2 Saran…..……………………………………………………….………………11
Daftar Pustaka…………………………………………………………………......12
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Tahapan Turunnya Al-Qur’an
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an berdasarkan
dalil ayat Al-Qur’an dan riwayat hadits shahih ada tiga tahap yaitu :
Tahap Pertama, Al-Qur’an
berada di Lauh Mahfuzh, sebagaimana firman Allah:
“padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22).
“padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22).
Ketika Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh tidak diketahui bagaimana
keadaannya, kecuali Allah yang mengetahuinya, karena waktu itu Al-Qur’an berada
di alam ghaib, kemudian Allah menampakkan atau menurunkannya ke Baitul ‘Izzah
di langit bumi. Secara umum, demikian itu menunjukkan adanya Lauh Mahfuzh,
yaitu yang merekam segala qadha dan takdir Allah SWT, segala sesuatu yang
sudah, sedang, atau yang akan terjadi di alam semesta ini. Demikian ini
merupakan bukti nyata akan mengagungkan kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT
yang Maha Kuasa.
Jika keberadaan Al-Qur’an di Lauh Mahfuzh itu merupakan Qadha
(ketentuan) dari Allah SWT, maka ketika itu Al-Qur’an adanya persis sama dengan
keadaannya sekarang. Namun demikian hakekatnya tidak dapat diketahui, kecuali
oleh seorang Nabi yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya. Dan segala sesuatu
yang terjadi di bumi ini telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh sebagaimana firman
Allah : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”[1]
Tahap Kedua, Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh diturunkan ke langit bumi (Baitul ‘Izzah)
Berdasarkan kepada beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits berkah yang dinamakan malam Al-Qadar (Lailatul Qadar) dalam bulan suci Ramadhan. Sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.”. (Q.S Al-Qadr:1). Dan firman Allah :“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).(Q.S. Al Baqarah: 185) serta firman Allah : “sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhaan: 3)
Tiga ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Al-Qur’an, diturunkan
pada suatu malam bulan Ramadhan yang dinamakna malam Lailatul Qadar yang penuh
berkah. Demikian juga berdasarkan beberapa riwayat sebagai berikut :
“Riwayat dari Ibn Abbas ra. berkata : Al-Qur'an dipisahkan dari Adz
Dzikir lalu Al-Qur'an itu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, lalu
Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi.”. Dan
hadis riwayat Ibnu Abbas : “Riwayat dari Ibnu Abbas berkata : Al-Qur'an
diturunkan sekaligus langit bumi (Bait Al-Izzah) berada di Mawaqi’a Al-Nujum
(tempat bintang-bintang) dan kemudian Allah menurukan kepada Rasul-Nya dengan
berangsur-angsur.”
Dan hadits riwayat Imam Thabrani : “Riwayat dari Ibnu Abbas ra. berkata : Al-Qur'an diturunkan pada malam Al-Qadar pada bulan Ramadhan di langit bumi sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.”
Dan hadits riwayat Imam Thabrani : “Riwayat dari Ibnu Abbas ra. berkata : Al-Qur'an diturunkan pada malam Al-Qadar pada bulan Ramadhan di langit bumi sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.”
Ketiga riwayat tersebut dijelaskan di dalam Al-Iqam bahwa ketiganya
adalah sahih sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Suyuthy riwayat dari Ibn
Abbas, dimana dia ditanya oleh Athiyah bin Aswad dia berkata : “Dalam hatiku
terdapat keraguan tentang firman Allah dalam surah Al - baqarah ayat 185 :“
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran…….”
dan firman Allah dalam surah Al – Qadr ayat 1: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”
dan firman Allah dalam surah Al – Qadr ayat 1: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”
Sedangkan Al-Qur’an ada yang diturunkan pada bulan Syawal,
Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, Safar dan bulan Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul
Akhir. Ibnu Abbas menjawab bahwa Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadhan
malam Lailatul Qadar secara sekaligus yang kemudian diturunkan kepada Nabi
secara berangsur-angsur di sepanjang bulan dan hari.
Yang dimaksud dengan nujum (bertahap) adalah diturunkan sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah, sebagiannya menjelaskan bagian yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Al-Suyuthy mengemukakan bahwa Al-Qurthuby telah menukilkan hikayat Ijma’ bahwa turunnya Al-Qur’an secara sekaligus adalah dari Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit pertama.
Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah untuk menyatakan keagungan Al-Qur’an dan kebesaran bagi orang yang diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh bahwa kitab yang paling terakhir yang disampaikan kepada Rasul penutup dari umat pilihan sungguh telah diambang pintu dan niscaya akan segera diturunkan kepadanya.
As-Suyuthy berpendapat andaikata tidak ada hikmah Ilahiyah yang menyatakan turunnya kepada umat secara bertahap sesuai dengan keadaan niscaya akan sampai ke muka bumi secara sekaligus sebagaimana halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi karena Allah SWT membedakan antara Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, maka Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap, turun secara sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur sebagai penghormatan terhadap orang yang akan menerimanya.
Yang dimaksud dengan nujum (bertahap) adalah diturunkan sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah, sebagiannya menjelaskan bagian yang lain sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Al-Suyuthy mengemukakan bahwa Al-Qurthuby telah menukilkan hikayat Ijma’ bahwa turunnya Al-Qur’an secara sekaligus adalah dari Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit pertama.
Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah untuk menyatakan keagungan Al-Qur’an dan kebesaran bagi orang yang diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh bahwa kitab yang paling terakhir yang disampaikan kepada Rasul penutup dari umat pilihan sungguh telah diambang pintu dan niscaya akan segera diturunkan kepadanya.
As-Suyuthy berpendapat andaikata tidak ada hikmah Ilahiyah yang menyatakan turunnya kepada umat secara bertahap sesuai dengan keadaan niscaya akan sampai ke muka bumi secara sekaligus sebagaimana halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi karena Allah SWT membedakan antara Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, maka Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap, turun secara sekaligus kemudian diturunkan secara berangsur sebagai penghormatan terhadap orang yang akan menerimanya.
Tahap Ketiga : Al-Qur’an
diturunkan dari Baitul-‘Izzah kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari dengan cara sebagai berikut :
a. Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu (wahyu) sudah ada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: “Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam qalbuku.”
Firman Allah SWT : “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. Asy Syuuraa : 51).
b. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
a. Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak ada melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu (wahyu) sudah ada dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: “Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam qalbuku.”
Firman Allah SWT : “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. Asy Syuuraa : 51).
b. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
c. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara
inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya
berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat.
Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat,
bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh
Zaid bin Tsabit : “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang
oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian
setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa.”
d. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan point b, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (Q.S. An-Najm: 13-14)
d. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan point b, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (Q.S. An-Najm: 13-14)
II.2. Asbabun Nuzul
A. Pengertian Kebahasaan Asbab Al Nuzul
Dilihat dari segi bahasa, kata Nuzul
berarti turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah,
seperti kalimat “ Nazala fulanu minal jibali” ( seseorang turun dari atas gunung”).
Bentuk tasrifnya yaitu” nazala ”
berarti menggerakkan sesuatu dari tempat yang lebih tinggi ke tempat
yang lebih rendah, seperti kalimat “Anzala minas sama i” ( Allah
menurunkan air dari langit )
Disamping itu, kata nuzul juga terkadang digunakan untuk maksud diam
disuatu tempat atau daerah tertentu, seperti kalimat “ Nazalal amiru bil
madinati anzala” ( penguasa itu berada atau bertempat tinggal di suatu
kota).seperti yang digunakan Al-Quran dalam Surah Al-Mu’minun ayat ke 29
Artinya : dan berdoalah Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang
diberkati, dan Engkau adalah Sebaik-baik yang memberi tempat".(
Al-Mu’minun: 29)
Penggunaan kata al inzal atau tanzil untuk mengungkapkan
turun dan diturunkannya aya-ayat A-Qur’an, menurut Abdul Al-Maani dan Ahmad
Al-Ghundur, karena Al-Quran itu diturunkan dari yang Maha Tinggi, dan selain
Allah adalah rendah, dan menurutnya pula, bisa juga dilatarbelakangi oleh
proses turunya wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril dari arah langit yang
tinggi
Inilah makna kata nuzul dan inzal, serta latar belakang
peletakan kata-kata tersebut pada proses trunnya wahyu dari Allah SWT.,kepada
umat manusia melalui rasul-Nya Muhammad SAW.
B. Pengertian Istilah Asbab Al-Nuzul
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum Al-Quran, yang dimaksud dengan asbab nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi
mengiringi ayat-ayat itu diturunkan untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan ketentuan hukumnya. Sementara menurut Manna Al-Qahtan asbab
nuzul adalah sebagai peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu
diturunkan waktu kejadian peristiwa tersebut, baik berupa pertanyaan maupun
kasus-kasus tertentu.
Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa asbab nuzul
ayat adalah berbagai peristiwa baik berupa pertanyaan maupun kasus-kasus
tertentu yang menyebabkan ayat-ayat Al-quran itu diturunkan saat terjadinya
peristiwa tersebut, untuk menjelaskan ketentuan hukumnya.
Pertanyan-pertanyaan yang dimaksud tersebut di atas, ada kalanya pertanyaan
dari orang mukmin, dan ada kalanya dari orang-orang yang mengingkari ajaran
yang dibawa Muhammad sebagai utusan Allah, untuk menyampaikan ajaran kebenaran
tersebut.
Sejalan dengan pembahasan di atas bahwa ayat-ayat Al-Quran ada kalanya diturunkan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang dihadapkan pada Nabi Muhammad, dan beliau
mengetahui jawabannya secara pasti, maka segeralah jibril menurunkan ayat
sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Dengan pertanyaan tersebut, merupakan
sebab turunnya ayat.
Salah satu contoh pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat adalah
pertanyaan bangsa Yahudi Madinah kepada Nabi SAW., tentang ruh dan beliau belum
dapat menjelaskannya dengan baik kepada mereka. Lalu turunlah ayat ke 85 Surah
Al-Isra, yang berbunyi :
Artinya :” dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit". (Al-Isra’: 85)
Menurut bahasa Asbabun Nuzul berarti turunya ayat-ayat Al-Qur’an .
Al-Qur’an di turunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi Muhammad SAW. Secara
berangsur-angsur lebih kurang 23 tahun. Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaki
akidah, ibadah, akhlaq dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran.
1.2
Cara Mengetahui Asbabun
Nuzul
Yang mempunyai otoritas untuk mengungkapkan asbab nuzul ayat-ayat
Al-Quran adalah para sahabat Nabi, karena merekalah yang menyaksikan turunnya
ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dengan demikian, pelacakan asbab nuzul harus
diakukan dengan mencari dan mempelajari perkataan-perkataan sahabat yang
mengungkapkan proses turunnya ayat-ayat Al-Quran itu, atau riwayat-riwayat yang
bermuara minimal para sahabat.
Kalau perkataan sahabat tersebut juga mengungkapkan tentang perkataan atau
perbuatan Rasulullah yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka
kedudukannya menjadi hadis marfu, dan sangat berpeluang untuk memperoleh
kualitas hadis sahih. Tetapi, kalau perkataan mereka itu, tidak menyinggung
sedikitpun tentang Rasulullah, maka hadisnya menjadi mauquf. Oleh sebab itu,
wajar kalau para sarjana ilmu Al-quran, kemudian menyimpulkan bahwa hadis-hadis
tentang asbab nuzul itu, pada umumnya lemah karena tidak sampai pada
Rasulullah.
Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang ajaran
keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau berbagai
peristiwa yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati lemah, hadis-hadis
tersebut dapat digunakan, sebagai bahan referensi untuk memahami pesan-pesan
ayat Al-Quran.
Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh
para ulama ada empat yaitu:
1.
Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2.
Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3.
Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di atas, tetapi alur ceritanya menunjukkan sebagai ungkapan asbab nuzul.
Para sahabat yang
menyaksikan proses turunnya ayat, terkadang mengungkapkan peristiwa itu dengan
kata-kata sababu nuzul al ayat każa ... ( sebab turunnya ayat ini begini...). Kalau sahabat mengungkapkan simbol
tersebut, jelas sekali bahwa sebab nuzulnya itu sebagaimana yang ia kemukakan
itu.
Kemudian ada pula dari kebiasaan mereka itu mengemukakan dengan kata-kata fa
( maka ), dalam kontes pengungkapan peristiwanya. Seusai mengemukakan
peristiwanya itu, lalu mereka mengatakan fanuzilat hażihi al-ayat fi
każa, ... Kalau mereka mengatakan dengan simbol kata tersebut, maka
perkataanya itu juga jelas mengemukakan asbab nuzul ayat yang diceritakannya.
Disamping itu ada kebiasaan sahabat yang mengemukakan asbab nuzul
ayat itu dengan perkataan nuzilat hażihi al-ayat fi każa ... Dan
terkadang pula mereka tidak mengemukakannnya dengan simbol kata-kata yang
menunjukkan sebab turunya ayat, tetapi mereka hanya bercerita tentang sebuah
peristiwa, lalu mengemukakan ayat yang diturunkan dalam peristiwa tersebut.
2.3 Manfaat Mengetahui Asbabun
Nuzul
Banyak manfaat mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
diantaranya akan memantapkan memberi makna dan menghilangkan kesulitan atau
keraguan menfsirkannya. Ibnu Taimiyah berkata “ mengetahui sebab turunnya ayat
Al-Quran menolong seseorang memahami makna ayat, karena mengetahui sebab
turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui akibatnya”
Ada beberapa manfaat mengetahui asbab nuzul, secara rinci Al-Zarqani
menyebutkan tujuh macam manfaat atau faidah,
sebagai berikut :
1.
Pengetahuan tentang asbab nuzul
membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyariatkan agama-Nya melalui Al-Quran. Pengetahuan yang demikian akan
memberi manfaat baik bagi orang mukmin atau non mukmin. Orang mukmin akan
bertambah keimanannya dan mempunyai hasrat yang keras untuk menerapkan hukum
Allah dan mengamalkan kitabnya.
Sebagai contoh adalah syariat tentang pengharaman minuman keras. Menurut
Muhammad Ali Al-Shabuni pengharaman minuman keras berlangsung melalui empat
tahap , tahap pertama Allah mengharamkan minuan keras secara tidak langsung, tahap
kedua memalingkan secara langsung dari padanya, mengharamkan secara parsial,
keempat pengharaman secara total.
2.
Pengetahuan tentang asbab
nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. Hal ini
senada dengan pernyataan Ibnu Daqiq Al Id ia berkata “ Keterangan tentang sebab
turunnya ayat merupakan jalan kuat untuk memahami makna-makna Al-Quran”.
Diantara contohnya ialah ayat ke 158 dari Surah Al-Baqarah kalau tidak dibantu
dengan pelacakan asbab nuzulnya, pemahaman dan penafsiaran ayat tersebut bisa
keliru. Ayat tersebut berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah Maka
Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan
suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha mengetahui.( Al-Baqarah : 158)[2][11]
Dengan kata Fala Junaha, dapat diartikan bahwa rukun sai ibadah (
boleh) dan tidak mengikat. Oleh sebab itu Urwah salah seorang sahabat Nabi
pernah berpendapat bahwa sai itu ibadah, dan tidak mengikat. Akan tetapi,
kemudian dikritik oleh Aisyah, karena menurutnya, ayat tersebut diturunkan
sehubungan dengan pertanyaan orang-orang Ansar pada Rasulullah, tentang sai
antara safa dan marwa,karena mereka sebelumnya tidak punya tradisi sai saat
melakukan ritus ,pada zaman islamnya. Sehubungan dengan pernyataan mereka
inilah ayat tersebut diturunkan, dan Rasulullah mewajibkan melakukan sai antara
kedua bukit tersebut.
3.
Pengetahuan asbab nuzul
dapat menolak dugaan adanya hasr atau pembatasan dalam ayat yang menurut
lahirnya mengandung hasr atau pembatasan,
Seperti firman Allah:
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. "2
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hasr (pembatasan) dalam ayat ini tidak
termasuk dalam maksud itu sendiri. Untuk menolak adanya hasr (pembatasan) dalam
ayat ini, ia mengemukakan alasan bahwa sehubungan dengan sikap orang-orang
kafir yang suka mengharamkan kecuali apa yang di halalkan oleh Allah dan meng
halalkan Apa yang di haramkan oleh-Nya. Hal ini karena penentangan mereka
terhadap Allah dan Rasul-Nya.
4.
Pengetahuan tentang asbab nuzul dapat
mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama’ yang memandang bahwa
yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5.
Dengan mempelajari asbab nuzul diketahui pula
bahwa sebab turun ayat ini tidak pernah dari hukum yang terkandung dalam ayat
tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkan ).
6.
Dengan asbab nuzul, di ketahui orang yang ayat
tertentu turun padanya secara tepat sehinga tidak terjadi kesamaran bisa
membawa penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan orang yang
salah.
7.
Pengetahuan tentang asbab nuzul akan mempermudah
orang yang menghafal Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan
orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa turunnya
Al-Qur’an berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an dan riwayat Hadits shahih melalui
tiga tahap yaitu :
Tahap Pertama, Al-Qur’an berada di Lauh Mahfuzh, sebagaimana firman
Allah:
“padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22)
“padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruuj: 20-22)
Tahap
Kedua, Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh
diturunkan ke langit bumi (Baitul ‘Izzah). Berdasarkan kepada beberapa ayat
dalam Al-Qur’an dan Hadits berkah yang dinamakan malam Al-Qadar (Lailatul
Qadar) dalam bulan suci Ramadhan. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.”(Q.S Al-Qadr: 1)
Tahap
Ketiga : Al-Qur’an diturunkan dari
Baitul-‘Izzah kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari.
Pengertian dari asbab nuzul ayat itu ada
dua, yaitu menurut kebahasaan yang berasal dari kata Nuzul,nazala,dan al inzal yang
berarti turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dan menurut istilah adalah berbagai peristiwa baik berupa pertnyaan maupun kasus-kasus tertentu
yang menyebabkan ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan saat terjadinya peristiwa
tersebut, untuk menjelaskan ketentuan hukumnya.
Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh
para ulama ada empat yaitu:
Diungkapkan dengan kata-kata sebab, Diungkapkan dengan kata “fa” ( maka ), dan diungkapkan dengan kata “nuzuli fi” ... Tidak diungkapkan dengan
simbol-simbol kata di atas, tetapi alur ceritanya
menunjukkan sebagai ungkapan asbab nuzul.
Dan
asbab nuzul suatu ayat mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan ummat
manusia di ini, salah satunya adalah sebagai landasan-landasan suatu
penetapan hukum dan masih banyak lainya.
III.2. Saran
Dari
berbagai uraian diatas, jelas kita sudah
tahu bagaimana tahapan turunnya Al-Qur’an dan asbabun nuzul. Tinggal bagaimana
kita memahami dan merealisasikannya kedalam kehidupan.
Saran
ini kami tujukan kepada semua umat muslim, semua kalangan, khususnya kami
mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya. Bahwa kita senantiasa membaca Al-Qur’an
tidak hanya sekedar membaca atau melafalkannya, namun juga mengetahui bagaimana
proses turunnya dan alasan atau sebab apa yang menyebabkan Al-qur’an itu turun.
Jadi kita akan mengetahui apa yang kita baca, paham apa yang kita lafalkan, dan
memahami apa yang kita hafalkan baik dari segi fisik maupun substansinya yang kemudian
kita berusaha mengamalkan substansi dari Al-qur’an tersebut dalam kehidupan. Intinya,
kita harus bisa menjadi muslimin muslimat dan mu’minin mu’minat yang kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Departemen Agama RI. 2007.
Al-Quran dan Terjemahnya 30 juz. Jakarta :
Qomari.
Ø Izzan, ahmad. 2011. Ummul
Quran . Tafakur
Ø Qattan, al khalil. 1994. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor
: Utera antar nusa
Ø Munawir, Fajrul. 2005. Al-Qur’an Pokja akademik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar