Dea masih terus menangis dikamarnya ketika semua anak-anak
penghuni kos nya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ceritanya, beberapa
hari yang lalu, dia pergi menemani mbak Leti teman sekamarnya, untuk membayar
listrik bulanan ke koperasi kampus mereka. Dea yang saat itu shaum, mendengar
adzan maghrib telah berkumandang.
“alhamdulillah... dea buka puasa disini dulu ya mbak...”
kata dea sumringah.
“iya, mbak tunggu ko” jawab mbak Laeti.
Setelah buka puasa dengan hanya meminum juz yang dia beli,
mereka melanjutkan perjalanan pulang ke kos.
Disebuah tikungan, ada seorang kakek renta berjualan gedek
dengan mendorong sepedanya. Dea teringat, bahwa kakek inilah yang sering
berteduh ataupun beristirahat disamping kampusnya. Dea merasa trenyuh melihat
kakek renta tersebut. Dari dulu dirinya ingin sekali menemui kakek tersebut,
menanyakan alamatnya, dan menjadi cucu angkatnya. Namun kesempatan dirasa belum
berpihak padanya.
Dan sekarang, kakek yan dicarinya, dinantinya, orang yang
selama hampir satu setengah tahun ditunggunya dengan niatan ingin membantu,
kini ada dihadapannya. Tapi sayangya, kesempatan mungkin kembali terlewat. Dea
tidak enak hati jika harus meminta mbak Leti untuk menghentikan motornya. Jadi
Dea hanya bisa menyesal dan merenung dalam hatinya.
Namun tiba-tiba, mbak Leti menghentikan motornya dengan
terburu-buru berkata pada Dea, “sebentar ya De, tunggu.” Mbak Leti berlari.

“DEG.! Astaghfirullohal ‘adzim.. “
kejadian ini sungguh menyayat hati Dea. hancur rasanya berkeping-keping. Orang yang selama ini dia nanti dengan tulus niat ingin menolong, ternyata didahului mbak Leti!. Dea menangis dalam hatinya, berkata:
kejadian ini sungguh menyayat hati Dea. hancur rasanya berkeping-keping. Orang yang selama ini dia nanti dengan tulus niat ingin menolong, ternyata didahului mbak Leti!. Dea menangis dalam hatinya, berkata:
“ya Alloh, orang yang selama ini aku tunggu, ingin sekali
membantunya, dan setelah bertemu, kenapa malah aku biarkan dia diambil mbak
Lita? Kenapa aku tidak menyusul mbak Leti tadi? Betapa rendahnya aku
dihadapanMU sekarang ya Rabb...”
Diam-diam, setelah mbak Leti kembali dan menlanjutkan pulang
ke kos, dea menitikkan air mata menyesali perbuatannya.
Dia berpikir betapa pentingnya mengaktualisasikan harapan
dan keinginan dengan segera. Dia tidak ingin kejadian ini terulang padanya.
“Cukup sekali ini saja,”
Meski sebenarnya dia sakit hati tiap kali melihat mbak Leti,
dia pura-pura bersikap biasa. Bukan karena mbak Leti yang salah, tapi karena
setiap Dea melihat mbak Leti, dia teringat kesalahannya itu sehingga dia ingin
sekali menangis.
Ya, tepat sesampainya di kos, dea menangis... benar-benar
dia merasa menjadi hamba Allah yang sangat rendah dan merugi dunia-akhirat
sampai-sampai dia malu saat akan mengerjakan sholat maghrib. Tapi dia sadar,
jika dia meninggalkan sholat maghrib, justru Allah akan semakin membencinya.
“Allah, dea malu bertemu Engkau dengan kondisi seperti
ini. Dea malu denganMU karena betapa sangat rendahya hamba dihadapanMU...”
gumam Dea sambil menangis sesaat sebelum sholat maghrib dikamarnya.
Usai sholat maghrib, Dea menangis sejadi-jadinya pada Allah
yang Maha Kuasa. Dia menyesali perbuatannya dan tindakannya sore itu. Dea
meminta agar Allah membukakan pintu maaf dan tidak hentinya mengalirkan rahmat
dan hidayah kepadanya.
“semoga Engkau memberi maghfirahmu kepada hamba Ya
Allah....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar