Jumat, 30 Januari 2015

cerita antara aku dan Engkau

Kupandangi jam dinding yang sedari tadi berada di angka yang sama. “Kenapa waktunya lama sekali? jam pun serasa tidak bergerak” gumamku sedikit menggerutu. Jarum jam menunjuk di angka 17.28 tanda hari sudah semakin petang. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang dan akan tiba waktuku berbuka puasa. Pun lagi-lagi tak ada makanan, nasib klasik anak kos-kosan akhir bulan. Aku berencana membeli sayur di warung tetangga, karena nasi yang kutanak habis asyar sudah matang.


“MasyaAlloh,, lama sekali waktu berganti..” pikirku. Jangan kira aku tidak berbuat apa-apa dengan situasi dan kondisi seperti sekarang ini, yang sedang puasa, sendiri di kosan, terhimpit sepi. Aku sudah berupaya menelpon temanku untuk datang ketempatku. Kata dia, “maaf ya, langit sedang mendung. Aku takut kehujanan dijalan”. Hhhh, apa orang seperti itu masih layak dianggap teman?? Tega membiarkan temannya dalam kesepian dan kesendirian.

Kubuka laptopku, kemudian kunyalakan. Seperti biasa, penghilang suntuk kali ini adalah buka facebook. J kuselingi dengan membuka youtube cari tilawatil qur’an terbaru. Itung-itung usaha untuk tidak melupakan Alloh. Setelah mencari-cari, dapatlah tilawah yang kuminati. Video seorang qari’ muda Yusuf Daghusy melafalkan Surat Al-Mulk yang suaranya sangat merdu terdengar. Hatiku masih belum terbuka dengan hanya melihat video ini. Lalu dengan tidak sengaja aku menemukan sebuah cerita dan kubaca. “deg! Astaghfirulloh....!!” kini hatiku terbuka. Isinya menceritakan seorang muslimah taat. Aku sadar, seharusnya sebagai seorang wanita yang mengaku muslimah yang taat pada Alloh kupergunakan waktu kesendirianku untuk-Nya. Seharusnya kupergunakan waktu sepiku untuk bercengkerama dengan Dia yang telah memberiku waktu.

Sekali lagi aku menghela nafas panjang. Astaghfirulloh... apa yang telah kuperbuat ya Alloh. Aku salah, aku khilaf. Aku masih tak berdaya karena nafsuku. Astaghfirulloh!. Berulang kali ku ucap kata maaf untuk Rabb ku ketika kusadari bahwa waktu berbuka puasa akan segera tiba. Aku beranjak dari tempat dudukku mengambil uang didalam tas dan keluar mencari makanan.

Sepulangnya dari warung, adzan maghrib segera berkumandang. “Alhamdulillah,, berbagai ujian keimanan hari ini telah kulewati” pikirku mengucap syukur. Perasaanku masih belum lega.

Coba kamu pikirkan, manusia mana yang tidak resah jika dia hidup sendiri dalam sepi?

Rasa sesal karena datang terlalu awal ke Kota Pelajar seusai liburan pun merasuk pikiranku. “ahh... tau begini, lebih baik aku datang hari ahad”. Mau bagaimana lagi, dari dua minggu liburan kuliah, satu minggu pertama kuhabiskan di Jogja karena masih ada beberapa kegiatan. Satu minggu sisanya untuk menengok saudara dan keluarga di kampung halaman. Kuliah baru akan dimulai hari senin besok, sedangkan aku balik ke Jogja hari jum’at. Kalau bukan karena hari sabtu-ahad aku ada kegiatan di Kota, aku tidak akan balik secepat ini. “hhhh... aku benci suasana seperti ini” Untungnya, masih ada laptop kesayanganku dan koneksi wifi gratis yang tersedia. Lumayan, buat hiburan.

Memasuki malam, rasa kesepian ini tak begitu terasa. Tapi perasaan rindu yang luar biasa berkecamuk dihati dan memoryku. “ya Alloh... keluargaku sedang apa ya dirumah? Apa mamaku bisa melakukan semua aktivitasnya sebagai seorang ibu dengan lancar? Bagaimana dengan adik kecilku, rewelkah dia? Ya Alloh, aku merindukan mereka. Rindu yang teramat sangat...”

Tak sadar, bulir hangat menetes di pipiku. Aku menangis...

“Ya Alloh... saat ini tak ada seorangpun yang mengetahui keadaanku selainMu, peluklah aku dengan kasihMu, usap air mata ini dengan karunia dan ridhoMu. Tak ada yang lebih mengerti hati hamba selain Engkau ya Rabb....”

Kuambil mushaf Al-Qur’an yang ada disampingku. Lembar demi lembar kubaca, kurenungi maknanya. Kulanjutkan membaca ketika kemudian hatiku berdegup lebih kencang, bibirku bergetar, dan pandangan mataku mulai kabur! Air mata ini menutupi pandanganku. Aku berhenti membaca. 

Dengan lembut kucium Al-Qur’an ditanganku, kututup perlahan.
“Astaghfirullohal’adhim... ya Alloh, kenapa semua dosa-dosa ku nampak jelas dipelupuk mataku?”
Aku kembali bermuhasabah “Apakah harus merasa sendiri dulu agar aku mau merenung? Apakah harus merasa sedih dulu untukku merasa berdosa? Kapan kesadaran ini tetap hadir?”


Untuk semua yang kurasa, yang kukhawatirkan, yang kucemaskan, dan yang kuharapkan, hanya aku dan Engkau yang mengerti ya Alloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar